Penelitian tim ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di lima daerah di Pantai Utara Jawa menunjukkan bahwa anak-anak objek kawin siri rentan atas eksploitasi untuk pelacuran dan perdagangan anak.
Menurut Ketua KPAI, Hadi Supeno, secara sosiologis nikah siri biasanya karena perkawinan kedua dan seterusnya dengan preferensi usia pasangan perempuan lebih muda, semakin muda, dan bahkan anak.
Ia mengatakan, pada umumnya pernikahan siri hanya bertahan dua hingga tiga tahun. “Anak-anak korban kawin siri menjadi tenaga kerja wanita atau korban perdagangan manusia,” katanya.
Ia menyatakan adanya anak yang dilahirkan dari nikah siri kemudian dititipkan kepada orang tua atau nenek di kampung dengan jaminan kesehatan yang relatif rendah dan berakibat mereka menderita gizi buruk.
Ia mengatakan, pernikahan sebagai suatu perjanjian luhur antara dua manusia harus dilakukan secara terbuka dan tercatat agar ada kontrol publik. Perkawinan sesungguhnya bukan hanya urusan privat domestik tetapi masuk aras publik. “Maka perkawinan harus dicatat oleh negara,” katanya.
Ia mengatakan, angka pernikahan dini di Indonesia sekitar 600 pasangan dari total angka pernikahan sekitar 2,5 juta pasangan per tahun. Relatif tingginya angka pernikahan itu, katanya, diduga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian bayi yakni 34 per seribu kelahiran atau 150 ribu bayi per tahun dari total angka kelahiran sekitar lima juta bayi per tahun.
Ia mengatakan, pernikahan dini banyak dilakukan pada usia 11 hingga 13 tahun. Secara fisik mereka belum siap reproduksi. Sejauh itu, KPAI tidak menyebut lima daerah yang menjadi sasaran penelitian tim ahli KPAI tersebut.
Pernikahan dini, katanya, sebagian besar tanpa pencatatan oleh negara karena petugas pencatatan perkawinan atau penghulu akan menolak melakukannya. (*an/ham)
Sumber : matanews.com
Menurut Ketua KPAI, Hadi Supeno, secara sosiologis nikah siri biasanya karena perkawinan kedua dan seterusnya dengan preferensi usia pasangan perempuan lebih muda, semakin muda, dan bahkan anak.
Ia mengatakan, pada umumnya pernikahan siri hanya bertahan dua hingga tiga tahun. “Anak-anak korban kawin siri menjadi tenaga kerja wanita atau korban perdagangan manusia,” katanya.
Ia menyatakan adanya anak yang dilahirkan dari nikah siri kemudian dititipkan kepada orang tua atau nenek di kampung dengan jaminan kesehatan yang relatif rendah dan berakibat mereka menderita gizi buruk.
Ia mengatakan, pernikahan sebagai suatu perjanjian luhur antara dua manusia harus dilakukan secara terbuka dan tercatat agar ada kontrol publik. Perkawinan sesungguhnya bukan hanya urusan privat domestik tetapi masuk aras publik. “Maka perkawinan harus dicatat oleh negara,” katanya.
Ia mengatakan, angka pernikahan dini di Indonesia sekitar 600 pasangan dari total angka pernikahan sekitar 2,5 juta pasangan per tahun. Relatif tingginya angka pernikahan itu, katanya, diduga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian bayi yakni 34 per seribu kelahiran atau 150 ribu bayi per tahun dari total angka kelahiran sekitar lima juta bayi per tahun.
Ia mengatakan, pernikahan dini banyak dilakukan pada usia 11 hingga 13 tahun. Secara fisik mereka belum siap reproduksi. Sejauh itu, KPAI tidak menyebut lima daerah yang menjadi sasaran penelitian tim ahli KPAI tersebut.
Pernikahan dini, katanya, sebagian besar tanpa pencatatan oleh negara karena petugas pencatatan perkawinan atau penghulu akan menolak melakukannya. (*an/ham)
Sumber : matanews.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan isi komentar anda dengan benar